Al-A'raf 138

💬 : 0 comment

Tafsir Indonesia Depag Surah Al-A'raf Ayat 138


وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَآئِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْاْ عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُواْ يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَـهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ

Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu [562], maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)". Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)".

[562] Maksudnya: bagian utara dari laut Merah.

Ayat ini menerangkan bahwa dengan inayat dan kekuasaan Allah swt, Bani Israel telah diselamatkan-Nya sampai ke seberang Laut Qulzum sehingga mereka terlepas dari penindasan dan perkosaan Firaun dan kaumnya. Dari ayat ini dipahami, bahwa Musa dan Bani Israel dengan mudah ke seberang itu, semata-mata karena pertolongan Allah swt, bukan karena hal-hal yang lain seperti karena air laut waktu sedang pasang surut dan sebagainya. Peristiwa ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s.

Pada ayat yang lain diterangkan bahwa setelah penindasan Firaun dan kaumnya kepada Bani Israel sampai ke puncaknya, Allah memerintahkan Musa pergi pada suatu malam meninggalkan Mesir dengan membawa Bani Israel agar terlepas dari penindasan Firaun. Maka Musapun melaksanakan semua perintah Tuhan dan ia pergi bersama Bani Israel. Setelah mendengar kepergian itu, Firaun pun marah dan dalam waktu yang singkat dia kumpulkan bala tentaranya dan langsung mengejar Musa dan Bani Israel malam itu juga. Pada pagi harinya, di kala matahari mulai memancarkan sinarnya, Firaun dapat menyusul dari belakang, kedua belah pihak telah saling melihat, sedang Musa dan Bani Israel waktu itu sudah berada di pinggir laut. Terus lari, terhalang oleh laut, kembali, pedang musuh telah terhunus menanti. Di saat itulah Allah memperlihatkan kekuasan-Nya dengan memerintahkan Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut. Musa memukulkannya, lautpun terbelah menjadi dua, di antara yang terpisah itu terdapat jalan membentang sampai ke seberang. Dengan demikian, Musa dan Bani Israel segera melaluinya dan dari belakang Firaun dan bala tentaranya terus mengikuti mereka. Akhirnya setelah Musa dan Bani Israel selamat sampai di seberang, sedangkan Firaun dan bala tentaranya mati tenggelam ke dasar laut.

Peristiwa tenggelamnya Firaun dan tentaranya ini, diterangkan pula oleh ayat ayat yang lain. Allah swt. berfirman:

وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَى(77)فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِيَهُمْ مِنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ(78)

Artinya:
Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa , "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israel)di malam hari, buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)". Firaun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.
(Q.S Taha: 77-78)

Kisah tenggelamnya Firaun dan bala tentaranya di laut Qulzum tersebut pula dalam Wasiat Lama dan Kitab Keluaran.

Setelah Musa a.s. dan Bani Israel selamat sampai ke seberang laut Qulzum, yaitu daerah sekitar tanah Arab yang terletak di ujung benua Asia di bagian Barat Daya, merekapun meneruskan perjalanannya. Maka sampailah mereka ke suatu negeri yang penduduknya taat menyembah berhala. Melihat keadaan yang demikian, ingatan mereka kembali kepada adat kebiasaan dan kepercayaan nenek-moyang mereka, yang biasa mereka kerjakan bersama-sama dengan Firaun, seperti menyembah sembahan-sembahan selain Allah, baik yang berupa binatang, patung, batu dan sebagainya. Karena itu dengan spontan mereka meminta kepada Nabi Musa a.s., "Hai Musa! Buatkanlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan".

Dari permintaan Bani Israel kepada Musa a.s. ini dipahami bahwa sekalipun Musa a.s. telah menyampaikan risalahnya dengan sebaik mungkin kepada Bani Israel, namun Bani Israel belum memahami betul agama tauhid yang disampaikan Musa. Adat istiadat dan kepercayaan nenek-moyang mereka, yaitu kepercayaan menyembah berhala, masih sangat besar pengaruhnya pada diri mereka, sehingga kepercayaan tauhid yang baru ditanamkan Musa dengan, mudah dapat goyang dan rusak. Telah diketahui bahwa orang-orang Bani Israel di zaman Firaun termasuk golongan yang rendah dan kurang pengetahuannya. Hampir tidak ada cerdik cendekiawan berasal dari mereka, semuanya berasal dari penduduk Mesir asli (bangsa Qibty), turunan bangsawan. Kebanyakan Bani Israel pada waktu itu hidup sebagai rakyat biasa, pekerja-pekerja kasar, bahkan banyak hidup seperti budak membangun piramida, kuburan raja-raja dan orang-orang yang dijadikan oleh Firaun sebagai pekerja paksaan.

Karena keadaan mereka yang demikian rupa, timbul sifat apatis di antara mereka, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari perbudakan Firaun, tidak ada keinginan yang kuat untuk merdeka sebagaimana tiap-tiap bangsa sangat menginginkannya. Tidak ada sikap yang tegas dan cita-cita yang kuat itu pada diri mereka itu terlihat pada reaksi, tindak-tanduk dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa a.s. sedikit saja halangan dan kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa kepada Musa, bahkan menyatakan lebih suka hidup dalam perbudakan Firaun dari pada menderita dan sedikit bersusah payah dalam hidup merdeka bersama Musa a.s.

Tidaklah berbeda antara Bani Israel terhadap ajakan Musa a.s. untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka dengan sikap mereka terhadap ajakan Musa a.s. agar mengikuti agama yang benar. Sekalipun Nabi Musa telah menerangkan dengan baik dan jelas agama tersebut, sehingga mereka memahami dan mengikutinya, namun serentak mereka melihat patung-patung, orang-orang menyembah berhala, orang memuja dewa-dewa dan segala macam bentuk di dalam agama syirik, ingatan mereka kembali kepada kepercayaan mereka terdahulu, karena itu mereka dengan spontan meminta kepada Musa a.s. agar dibuatkan berhala untuk sembahan mereka. Mereka lebih merasa mantap menyembah sesuatu yang dapat dilihat dan diraba, dihiasi dan sebagainya dari pada menyembah sesuatu yang gaib, tidak nampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan tangan.

Berbeda dengan ahli sihir yang beriman kepada Musa, setelah kepandaian ilmu sihirnya dikalahkan oleh mukjizat Musa a.s. Mereka termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik-cendekiawan pada waktu itu. Karena itu mereka mendapatkan pengertian untuk membedakan sesuatu yang benar dengan pengetahuan mereka itu, sehingga dapat mengetahui mana tanda-tanda kekuasaan Allah dan mana yang bukan, mana yang dapat dicapai oleh pancaindera dan mana yang tak dapat .dicapai dan sebagainya. Karena itu setelah mereka beriman kepada Allah dan Nabi Musa a.s. merekapun beriman dengan sepenuh hati, tidak dapat digoyahkan oleh keadaan apapun dan oleh ancaman apapun, termasuk ancaman Firaun kepada mereka. Iman mereka telah mempunyai landasan yang kokoh, sehingga telah merupakan keyakinan yang kuat sebagai hasil dari pengetahuan, perasaan, pengalaman dan apa yang ada pada mereka.

Orang-orang Bani Israel seperti yang diterangkan di atas, adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui akan keharusan menyembah hanya kepada Allah swt. semata dengan tidak memperserikatkan-Nya dengan sesuatupun, tidak mengetahui keharusan beribadah langsung ditujukan kepada-Nya tanpa mengambil perantara dengan sesuatupun, seperti patung-patung, bangunan-bangunan, kuburan-kuburan atau benda-benda yang lain yang mereka jadikan sebagai perantara dalam menyembah Allah. Pada hal yang harus mereka percayai adalah Allah Yang Maha Esa dan murni dalam keesaan-Nya.

Iman seperti iman Bani Israel yang disebabkan kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek moyang itu, terdapat juga pada manusia umumnya dan kaum muslimin khususnya serta dijumpai pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah, sejak masa Nabi Muhammad saw. sampai zaman mutakhir ini, sebagaimana yang diisyaratkan hadis Nabi saw.

رواه أحمد والنسائى عن أبي وافد الليني قال: خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل حنين فمررنا بصدرة فقلت: يا رسول الله إجعل لنا هذه ذات أنواط كما للكفار ذات أنواط، فقال: الله أكبر، هذا كما قالت بنوا إسرائيل لموسى: إجعل لنا إلها كما لهم إلهة، إنكم تركبون سنن من قبلكم

Artinya:
Ahmad dan An Nasai meriwayatkan dari Abu Wafid Al Liiny, ia berkata, "Kami keluar menuju Madinah bersama Rasulullah saw. menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon, aku berkata, 'Ya Rasulullah! Jadikanlah bagi kami pohon -zatu anwat-(pohon yang merupakan ketergantungan) sebagaimana orang kafir mempunyai -zatu anwat-'. Rasulullah menjawab, '(Allah Maha Besar). Permintaanmu ini adalah seperti permintaan Bani Israel kepada Musa: (Jadikanlah bagi kami sebuah sembahan. sebagaimana mereka mempunyai sembahan) sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu".
(H.R Ahmad dan Nasa'i)

Kenyataan tentang adanya kepercayaan-itu diisyaratkan hadis di atas pada masa dahulu dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum muslimin agar berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga seluruh kaum muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum muslimin yang masih memuja kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua dan sebagainya, karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan kekhusyukan yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan menyembah Allah sendiri. Banyak juga di antara kaum muslimin yang menggunakan perantara wasilah dalam beribadat, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah swt. Maha dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadat yang ditujukan kepada-Nya akan sampai tanpa perantara, Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliah dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. Kepercayaan seperti ini bertentangan dengan ayat:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

Artinya:
...Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.
(Q.S Qaf: 16)

Dan pengakuan Ibrahim a.s. yang tersebut dalam firman-Nya

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Artinya:
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan
(Q.S Al An'am: 79)

Bahkan Allah swt. menegaskan dalam firman-Nya lagi:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Artinya:
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(Q.S Al Baqarah: 186)

Orang yang menyembah suatu sembahan di samping Allah swt. adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ

Artinya:
Tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri.
(Q.S Al Baqarah: 130)

Permintaan Bani Israel itu dijawab oleh Nabi Musa a.s., "Sesungguhnya kamu hai Bani Israel tidak mengetahui sifat-sifat Allah, apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang mustahil bagi-Nya. Dia adalah Esa dan murni dalam ke Esaan-Nya, tidak ada sesuatupun yang berserikat dengan-Nya.

Al Baghawi berkata dalam tafsirnya, "Sesungguhnya permintaan Bani Israel mengadakan suatu sembahan, bukanlah karena keraguan mereka tentang keesaan Allah, maksud permintaan mereka itu hanyalah minta diadakan suatu sembahan sebagai tuhan yang akan mereka agungkan dan dengan mengagungkan sembahan itu mereka telah mendekatkan diri kepada Allah. Tindakan yang demikian itu menurut mereka tidak akan merusak agama dan tidak akan merusak ketauhidan sebagai pokok kepercayaan". Itu adalah kebodohan mereka seperti yang telah dinyatakan:

Pendapat ini sesuai dengan firman Allah WT:

وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Artinya:
Orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah berkata, "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya"
(Q.S Az Zumar: 3)

Karena pendapat di atas, timbul persoalan, "Kenapa dikatakan kafir seseorang yang menyembah sesuatu sembahan selain Allah, agar dia merasa lebih mudah mendekatkan diri kepada Allah".

Agama yang dibawa para Rasul Allah sejak zaman dahulu sampai sekarang, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagai Nabi dan Rasul penutup adalah agama yang mengakui keesaan Allah dengan sebenar-benarnya, tidak ada di dalamnya unsur syirik sedikitpun juga. Hal ini adalah karena ibadat atau menyembah itu merupakan suatu perasaan yang timbul dari hati sanubari yang merasakan hanya Zat yang disembahnya itu sajalah Yang Maha Agung, Maha Pencipta, Maha Kuasa dan sebagainya. Perasaan itu menimbulkan ketundukan hati dan jiwa kepada Yang Maha Agung, menumbuhkan keyakinan bahwa dia sajalah yang berhak disembah; sedangkan yang lain adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama kedudukannya dengan ciptaan-Nya yang lain. Karena itu menyembah sembahan selain Allah akan merusak ketauhidan yang timbul dari perasaan yang ada dalam diri seorang dan berarti pula bahwa diri seseorang telah tergantung kepada sembahan, di samping tergantung kepada Allah swt. Karena itu pulalah Nabi Musa a.s. menolak dengan tegas permintaan kaumnya, demikian pula halnya Nabi Muhammad saw, telah menolak permintaan Abi Waqid Al-Laisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar!
Apabila ada penulisan yang salah atau kurang tepat.