Tafsir Indonesia Depag Surah Al Baqarah 180
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(QS. 2:180)
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Secara umum menurut bunyi ayat 180 di atas Allah mewajibkan berwasiat bagi seorang yang beriman yang telah merasa bahwa ajalnya sudah dekat dengan datangnya tanda-tanda bahwa dia akan mati. Kewajiban berwasiat itu, ialah kepada orang-orang yang mempunyai harta, agar sesudah matinya dapat disisihkan sebagian harta yang akan diberikan kepada ibu bapak dan karib kerabatnya dengan baik (adil dan wajar).
Para ulama mujtahid, untuk menerapkan suatu hukum wasiat yang positif dari ayat 180 ini, mereka memerlukan pembahasan dan penelitian pula terhadap ayat-ayat lain dalam Alquran dan terhadap hadis-hadis Nabi yang ada hubungannya dengan persoalan ini, sehingga mereka menghasilkan pendapat antara lain:
1. Jumhur ulama memberikan pendapat bahwa ayat wasiat 180 ini telah dinasakhkan (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat mawaris yang diturunkan dengan terperinci pada surat An-Nisa:11, 12 dengan alasan antara lain sebagai berikut:
a. Sabda Rasulullah saw:
إن الله قد أعطي كل ذي حق حقه ألا لا وصية لوارث
Artinya:
Sesungguhnya Allah swt. telah memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. (H.R Ahmad dan Al Baihaqi dari Abu Umamah Al Bahali)
Hadis ini walaupun tidak mutawatir, namun telah diterima baik oleh para ulama Islam semenjak dahulu.
b. Para ulama sependapat bahwa ayat-ayat mawaris tersebut diturunkan sesudah ayat wasiat ini.
2. Para ulama yang berpendapat bahwa ayat wasiat ini dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris, terbagi pula kepada 2 golongan: golongan pertama mengatakan: Tidak ada wasiat yang wajib, baik kepada kerabat yang ahli waris maupun kerabat yang bukan ahli waris. Golongan kedua berpendapat bahwa yang dinasakhkan hanya wasiat kepada kerabat ahli waris saja, sesuai dengan ayat-ayat mawaris itu tetapi untuk karib kerabat yang tidak termasuk ahli waris, wasiat itu tetap wajib hukumnya sesuai dengan ayat wasiat ini.
3. Menurut Abu Muslim Al-Asfahani (seorang ulama yang tidak mengakui adanya nasakh dalam ayat-ayat Alquran) dan Ibnu Jarir At-Tabari berpendapat bahwa ayat wasiat 180 ini, tidak dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris dengan alasan antara lain:
- Tidak ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris, karena wasiat ini sifatnya pemberian dari Tuhan. Oleh karena itu, seorang ahli waris bisa mendapat bagian dari wasiat sesuai dengan ayat 180 ini, dan dari warisan sesuai dengan ketentuan ayat-ayat mawaris.
- Andaikata ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris, maka dapat dikompromikan yaitu ayat-ayat wasiat ini sifatnya umum, artinya wajib wasiat kepada setiap kerabat, baik ahli waris maupun bukan, sedang ayat-ayat mawaris sifatnya khusus. Jadi kewajiban berwasiat itu seperti dalam ayat 180 tetap berlaku, sehingga tidak bertentangan dengan ayat-ayat mawaris.
Pada ayat 180 ini diterangkan lagi bahwa wasiat itu diperlakukan kalau ada harta banyak yang akan ditinggalkan yang berwasiat. Ulama banyak yang memberi pendapat tentang berapa banyaknya harta itu baru diperlukan adanya wasiat. Perincian pendapat para ulama ini dapat diketahui dalam kitab fikih. Tetapi bagaimanapun banyaknya dalil-dalil yang dikemukakan, pikiran yang sehat dapat mengambil kesimpulan bahwa harta yang ditinggalkan itu tentulah tidak sedikit sebab wasiat itu tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah seluruh harta yang ditingatkan, setelah dikeluarkan lebih dahulu apa yang wajib dikeluarkan, seperti utang-utang dan ongkos seperlunya untuk kepentingan penyelenggaraan jenazah. Kalau wasiat itu lebih dari sepertiga, maka harus mendapat persetujuan dari ahli waris yang menerima warisan itu.
Kalau ada yang tidak setuju, maka wasiat hanya berlaku sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan itu, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw.:
إن الله أعطاكم ثلث أموالكم عند وفاتكم زيادة لكم في أعمالكم
Artinya:
Sesungguhnya Allah telah membolehkan memberikan sepertiga dari harta kamu sewaktu dekat dengan mati untuk menambah kebajikan kamu. (HR Ad Daruqutni dari Mu'az bin Jabal)
Jadi kalau harta sedikit, tentulah wasiat itu tidak pantas dan tidak wajar.
Sesudah itu Allah menekankan pula, bahwa wasiat it diberikan dan dibagi secara makruf, artinya secara baik, adil dan wajar. Jangan ada yang menerima sedikit sedang yang lain menerima lebih banyak, kecuali dalam hal-hal yang cukup wajar pula, yaitu orang yang menerima lebih banyak, adalah karena sangat banyak kebutuhan dibandingkan dengan yang lain.
Tafsir Indonesia Jalalain Surah Al Baqarah 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
(Diwajibkan atas kamu, apabila salah seorang di antara kamu didatangi maut) maksudnya tanda-tandanya (jika ia meninggalkan kebaikan) yakni harta yang banyak, (berwasiat) baris di depan sebagai naibul fa`il dari kutiba, dan tempat berkaitnya 'idzaa' jika merupakan zharfiyah dan menunjukkan hukumnya jika ia syartiyah dan sebagai jawaban pula dari 'in', artinya hendaklah ia berwasiat (untuk ibu bapak dan kaum kerabat secara baik-baik) artinya dengan adil dan tidak lebih dari sepertiga harta dan jangan mengutamakan orang kaya (merupakan kewajiban) mashdar yang memperkuat isi kalimat yang sebelumnya (bagi orang-orang yang bertakwa) kepada Allah. Ayat ini telah dihapus dan diganti dengan ayat tentang waris dan dengan hadis, "Tidak ada wasiat untuk ahli waris." (H.R. Tirmizi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar!
Apabila ada penulisan yang salah atau kurang tepat.