Tafsir Indonesia Depag Surah Al-Baqarah 184
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fid-yah, (yaitu): Memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. 2:184)
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Pada ayat 184 dan permulaan ayat 185, Allah menerangkan bahwa puasa yang diwajibkm itu ada beberapa hari yaitu pada bulan Ramadan menurut banyaknya hari bulan Ramadan itu (29 atau 30 hari). Nabi Besar Muhammad saw. semenjak turunnya perintah puasa sampai wafatnya, beliau selalu berpuasa di bulan Ramadan selama 29 hari kecuali satu kali saja yang genap 30 hari.
Sekalipun Allah swt. telah mewajibkan puasa pada bulan Ramadan kepada semua orang-orang yang beriman, akan tetapi Allah Yang Maha Bijaksana memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada waktu itu dan menggantinya pada hari-hari lain di luar bulan Ramadan. Pada ayat tersebut tidak diperincikan jenis/sifat dan ukuran tentang kadar dan musafir itu, sehingga para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing antara lain sebagai berikut:
- Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit dan musafir tanpa membedakan sakitnya itu berat atau ringan demikian pula perjalanannya, jauh atau dekat, sesuai dengan bunyi ayat ini. Pendapat ini dipelopori oleh Ibnu Sirin dan Daud Az-Zahiri.
- Dibolehkan tidak berpuasa bagi setiap orang yang sakit yang benar-benar merasa kesukaran berpuasa, karena sakitnya. Ukuran kesukaran itu diserahkan kepada rasa tanggung jawab masing-masing. Pendapat ini dipelopori oleh sebagian ulama tafsir.
- Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan ketentuan-ketentuan, apabila sakit itu berat dan akan mempengaruhi keselamatan jiwa atau keselamatan sebagian anggota tubuhnya atau menambah sakitnya bila ia berpuasa; dan juga bagi orang-orang yang musafir, apabila perjalanannya itu dalam jarak jauh, yang ukurannya paling sedikit ialah 16 farsakh (kurang lebih 80 km).
- Tidak ada perbedaan pendapat mengenai perjalanan musafir, apakah dengan berjalan kaki, atau dengan apa saja, asalkan tidak untuk mengerjakan perbuatan maksiat. Sesudah itu Allah menerangkan lagi pada pertengahan ayat 184 yang terjemahannya: "Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin."
Menurut bunyi ayat itu, barang siapa yang benar-benar merasa berat menjalankan puasa, maka ia boleh menggantinya dengan fidyah, walaupun ia tidak sakit dan tidak musafir.
Termasuk orang-orang yang berat mengerjakan puasa itu ialah:
- Orang tua yang tidak mampu berpuasa, bila ia tidak berpuasa diganti dengan fidyah.
- Wanita hamil dan yang sedang menyusui bayi.
- Orang-orang sakit yang tidak sanggup berpuasa dan penyakitnya tidak ada harapan akan sembuh, hanya diwajibkan membayar fidyah.
- Mengenai buruh dan petani yang penghidupannya hanya hasil kerja keras dan membanting tulang setiap hari, dalam hal ini ulama fikih mengemukakan pendapat sebagai berikut:
- Imam Al-Azra`i telah memberi fatwa "sesungguhnya wajib bagi orang-orang pengetam padi dan sebagainya dan yang serupa dengan mereka, berniat puasa setiap malam Ramadan. Barang siapa (pada siang harinya) ternyata mengalami kesukaran atau penderitaan yang berat, maka ia boleh berbuka puasa. Dan kalau tidak demikian, ia tidak boleh berbuka."
- Kalau seseorang yang pencariannya tergantung kepada suatu pekerjaan berat untuk menutupi kebutuhan hidupnya atau kebutuhan hidup orang-orang yang harus dibelanjainya di mana ia tidak tahan berpuasa maka ia boleh berbuka di waktu itu (dengan arti harus berpuasa sejak pagi).
Kemudian pada akhir ayat 184 ini Allah menjelaskan bahwa barang siapa yang dengan rela hati mengerjakan kebajikan dengan membayar fidyah lebih dari ukurannya atau memberinya makan lebih dari seorang miskin, maka perbuatan itu baik baginya. Sesudah itu Allah menutup ayat ini dengan menekankan bahwa berpuasa itu lebih baik daripada tidak berpuasa.
Tafsir Indonesia Jalalain Surah Al-Baqarah 184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(Beberapa hari) manshub atau baris di atas sebagai maf`ul dari fi`il amar yang bunyinya diperkirakan 'shiyam' atau 'shaum' (berbilang) artinya yang sedikit atau ditentukan waktunya dengan bilangan yang telah diketahui, yakni selama bulan Ramadan sebagaimana yang akan datang nanti. Dikatakannya 'yang sedikit' untuk memudahkan bagi mualaf. (Maka barang siapa di antara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari berpuasa itu (sakit atau dalam perjalanan) maksudnya perjalanan untuk mengerjakan puasa dalam kedua situasi tersebut, lalu ia berbuka, (maka hendaklah dihitungnya) berapa hari ia berbuka, lalu berpuasalah sebagai gantinya (pada hari-hari yang lain.) (Dan bagi orang-orang yang) (tidak sanggup melakukannya) disebabkan usia lanjut atau penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh (maka hendaklah membayar fidyah) yaitu (memberi makan seorang miskin) artinya sebanyak makanan seorang miskin setiap hari, yaitu satu gantang/mud dari makanan pokok penduduk negeri. Menurut satu qiraat, dengan mengidhafatkan 'fidyah' dengan tujuan untuk penjelasan. Ada pula yang mengatakan tidak, bahkan tidak ditentukan takarannya. Di masa permulaan Islam, mereka diberi kesempatan memilih, apakah akan berpuasa atau membayar fidyah. Kemudian hukum ini dihapus (mansukh) dengan ditetapkannya berpuasa dengan firman-Nya. "Maka barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan, hendaklah ia berpuasa." Kata Ibnu Abbas, "Kecuali wanita hamil dan yang sedang menyusui, jika berbukanya itu disebabkan kekhawatiran terhadap bayi, maka membayar fidyah itu tetap menjadi hak mereka tanpa nasakh." (Dan barang siapa yang secara sukarela melakukan kebaikan) dengan menambah batas minimal yang disebutkan dalam fidyah tadi (maka itu) maksudnya berbuat tathawwu` atau kebaikan (lebih baik baginya. Dan berpuasa) menjadi mubtada', sedangkan khabarnya ialah, (lebih baik bagi kamu) daripada berbuka dan membayar fidyah (jika kamu mengetahui) bahwa berpuasa lebih baik bagimu, maka lakukanlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar!
Apabila ada penulisan yang salah atau kurang tepat.