Tafsir Surah Al Maidah 103

💬 : 0 comment

Tafsir Indonesia Depag Surah Al-Maidah 103


مَا جَعَلَ اللّهُ مِن بَحِيرَةٍ وَلاَ سَآئِبَةٍ وَلاَ وَصِيلَةٍ وَلاَ حَامٍ وَلَـكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ وَأَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah [449], saaibah [450], washiilah [451] dan haam [452]. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.

[449] Bahiirah: ialah unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi dan tidak boleh diambil air susunya.
[450] Saaibah: ialah unta betina yang dibiarkan pergi kemana saja lantaran sesuatu nazar. Seperti, jika seorang Arab Jahiliyah akan melakukan sesuatu atau perjalanan yang berat, maka ia biasa bernazar akan menjadikan untanya saaibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dengan selamat.
[451] Washiilah: seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washiilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala.
[452] Haam: unta jantan yang tidak boleh diganggu gugat lagi, karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahiirah, saaibah, washiilah dan haam ini adalah kepercayaan Arab Jahiliyah.

Dalam ayat ini Allah swt. menegaskan bahwa Dia tidak pernah menetapkan haramnya beberapa hal yang berlaku dalam adat Jahiliah mengenai bermacam-macam hewan yang tidak mereka makan dagingnya sebagai syariat agama. Hanya mereka sendiri saja yang menetapkan haramnya memakan daging hewan-hewan tersebut. Tetapi mereka mengatakan bahwa ketentuan itu adalah datang dari Allah swt. Hewan-hewan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Bahirah, yaitu unta betina yang telah melahirkan anak lima kali, dan anaknya yang kelima itu adalah betina. Menurut adat Jahiliah, unta betina semacam itu mereka belah telinganya, kemudian mereka lepaskan, dan tidak boleh lagi dipakai untuk kendaraan, dan tidak boleh diambil air susunya.

b. Saibah, yaitu unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja, tidak boleh dipakai untuk kendaraan atau membawa beban, dan tidak boleh diambil bulunya, dan tidak boleh pula diambil air susunya, kecuali untuk tamu. Menurut adat jahiliah, ini dilakukan untuk menunaikan nazar. Apabila seseorang di antara orang-orang Arab Jahiliah akan melakukan sesuatu pekerjaan berat, atau perjalanan yang jauh, maka mereka bernazar, bahwa ia akan menjadikan untanya sebagai saibah, apabila pekerjaannya itu berhasil dengan baik, atau perjalanannya itu berlangsung dengan selamat.

c. Wasilah, yaitu kambing atau unta betina yang lahir kembar dengan saudaranya yang jantan. Menurut adat jahiliah juga, apabila seekor kambing betina melahirkan anak kembar jantan kemudian betina, maka anaknya yang betina itu disebut "wasilah", tidak boleh disembelih, dan tidak boleh dipersembahkan kepada berhala.

d. Ham, ialah unta jantan yang telah berjasa menghamilkan unta betina sepuluh kali. Menurut adat jahiliah unta jantan semacam itu tak boleh lagi diganggu, misalnya disembelih, atau digunakan untuk maksud apa pun, tetapi harus dipelihara dengan baik. Ia tak boleh dicegah untuk meminum air atau memakan rumput di mana pun yang disukainya.

Demikianlah antara lain adat-adat Jahiliah mengenai bermacam-macam hewan. Mereka sendirilah yang menetapkan bahwa daging hewan itu tidak boleh dimakan. Dan mereka katakan, bahwa ketentuan itu adalah dari Allah, dan menjadi syariat agama.

Maka dalam ayat ini Allah swt. membantahnya, dan menegaskan bahwa orang-orang kafir sendirilah yang menetapkan ketentuan itu, dan dengan demikian, mereka telah mengadakan kebohongan terhadap Allah swt.

Pada akhir ayat ini, Allah swt. menerangkan, bahwa kebanyakan orang-orang kafir tidak menggunakan akal pikirannya. Sebab andaikata mereka mau menggunakan akal sehat mereka, niscaya mereka tidak akan membuat kebohongan terhadap Allah swt. dan niscaya pula mereka tidak akan mengharamkan apa-apa yang tidak diharamkan Allah swt.

Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, Abu Hurairah telah berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda kepada Aktam bin Jaun, "Hai Aktam, neraka telah diperlihatkan kepadaku, maka tampak olehku dalam neraka itu Amru bin Hayyi bin Qam'ah bin Khinzif sedang menarik ususnya. Maka aku tidak melihat seorang pun selain engkau yang lebih mirip dengannya." Maka Aktam berkata, "Aku merasa takut kalau-kalau kemiripanku dengannya akan mendatangkan suatu bahaya atas diriku." Rasulullah saw. menjawab, "Tidak, sebab engkau adalah mukmin, sedang dia adalah kafir; dialah orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ismail, dan dialah orang yang mula-mula menetapkan ketentuan tentang bahirah, saibah, wasilah dan ham."

Dan riwayat ini dapat diambil pengertian bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam syariat agama, misalnya mengharamkan makanan yang dihalalkan Allah, atau membuat-buat syiar yang bertentangan dengan agama, atau mengadakan peribadatan yang tidak ditetapkan oleh agama sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh rida-Nya, maka perbuatan tersebut sama dengan perbuatan Amru bin Hayyi. Cara-cara yang sah untuk menyembah Allah swt. telah ditetapkan-Nya dan telah disampaikan oleh Rasul-Nya. Maka setiap peribadatan dan penetapan hukum haruslah berdasarkan nas Alquran atau ketetapan Rasul. Seseorang tidak boleh menambah-nambah menurut kemauannya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar!
Apabila ada penulisan yang salah atau kurang tepat.